Gagah berani dan penuh ambisi, para raja Ular menggunakan perang dan diplomasi untuk membentuk persekutuan terkuat dalam sejarah peradaban mereka.
Oleh Erik Vance
Tak
banyak yang dapat dilihat di kota kuno Holmul. Bagi orang awam yang
melihat sekilas, tempat ini hanyalah perbukitan terjal berselimutkan
hutan di tengah rimba di bagian utara Guatemala, dekat perbatasan
Meksiko. Rimba di Basin Petén ini lebat dan hangat, tetapi lebih kering
ketimbang yang kita perkirakan. Juga sunyi, selain derik tonggeret dan
sesekali teriakan monyet peraung.
Perhatikanlah dengan lebih saksama, maka kita bisa melihat bahwa sebagian besar bukit itu tersusun dalam lingkaran besar, tak ubahnya pengelana yang berkerumun mengelilingi api unggun pada malam yang dingin. Lihat lebih dekat lagi, maka terungkaplah bahwa sebagian dari bukit-bukit itu terbentuk dari potongan batu dan beberapa di antaranya memiliki terowongan yang digali masuk dari lerengnya. Sesungguhnya ini sama sekali bukan perbukitan, melainkan piramida kuno, terbengkalai dan lapuk setelah runtuhnya peradaban Maya satu milenium silam.
Holmul bukanlah situs yang besar dan terkenal seperti Tikal yang ada di dekatnya. Tempat ini sering kali diabaikan oleh para arkeolog sampai pada 2000, ketika Fransisco Estrada-Belli, tiba. Lelaki berkebangsaan Guatemala yang lahir di Italia ini berparas tampan, dengan rambut tak beraturan dan pembawaan yang santai. Ia tidak mencari sesuatu yang wah, seperti prasasti dari masa Klasik atau makam penuh hiasan—hanya mencari penjelasan tentang asal-usul orang Maya. Salah satu hal pertama yang ia temukan adalah sebuah bangunan, beberapa kilometer jauhnya dari yang kelihatannya adalah kelompok piramida utama Holmul. Di situ ada sisa mural atau lukisan dinding yang memperlihatkan gambar sejumlah prajurit dalam perjalanan menuju tempat amat jauh.
Anehnya, bagian dari mural itu dihancurkan, kelihatannya oleh orang Maya sendiri. Seolah mereka ingin menghapus sejarah yang digambarkannya. Estrada-Belli pun menggali terowongan di sejumlah piramida di dekat situ. Orang Mesoamerika kuno membangun piramida mereka berlapis-lapis, satu lapisan di luar lapisan yang lama, seperti boneka kayu matryoshka Rusia. Saat penduduk Holmul menambahkan lapisan baru, mereka menjaga baik-baik lapisan di bawahnya. Peneliti pun bisa membuat terowongan dan melihat struktur lama di bawahnya, berbentuk nyaris persis sebagaimana stuktur itu ditinggalkan.
Pada 2013, Estrada-Belli dan timnya bekerja memasuki salah satu piramida yang lebih besar, menelusuri alur sebuah undak-undakan kuno menuju pintu masuk sebuah bangunan tempat upacara. Setelah naik melalui sebuah lubang di lantai, mereka menemukan relief sepanjang delapan meter, dengan kondisi amat bagus, di atas pintu masuk makam kuno.
Relief berlapis plester sangatlah langka dan rapuh. Relief yang satu ini memperlihatkan tiga orang pria, termasuk seorang raja Holmul, yang muncul dari mulut monster aneh yang didampingi oleh makhluk dunia bawah, dilingkari oleh dua ular raksasa berbulu. Karya seni ini megah dan amat meriah.
Saat Estrada-Belli memandangi relief itu, ia mengamati serangkaian pahatan di bagian bawah. Sambil berlutut, ia melihat deretan karakter kata, atau glif, berisikan daftar raja-raja Holmul. Agak di tengah deretan itu ada sebuah glif yang langsung ia ketahui sebagai penemuan paling cemerlang dalam kariernya: seekor ular yang menyeringai.
“Di antara berbagai glif, saya melihat [nama] Kaanul,” ujarnya. Tiba-tiba saja, kami berada di tengah-tengah bagian yang paling menarik dalam sejarah Maya.”
Kisah tentang penemuan Kaanul, atau para Ular, dan usaha mereka untuk membangun sebuah kekaisaran dimulai di Tikal, kota besar dari musuh yang paling mereka benci. Sebagaimana Tikal mendominasi dataran rendah Maya selama berabad-abad, tempat itu juga mendominasi arkeologi Maya sejak 1950-an. Kota yang luas itu pernah memiliki populasi mencapai 60.000 jiwa, dan bangunan anggunnya sungguh membuat pengunjung pada 750 M terpana, seperti halnya mereka memukau para wisatawan masa kini.
Tikal juga memiliki ratusan balok prasasti serupa batu nisan penuh pahatan indah yang disebut stela. Dengan menggunakan inskripsi di stela itu, para ilmuwan merekonstruksi sejarah Tikal sampai kejatuhannya di abad ke sembilan. Akan tetapi, ada celah aneh—sekitar tahun 560 sampai 690—saat tak ada stela yang dipahat dan hanya sedikit hal lain yang dibangun. Dibingungkan oleh jeda selama 130 tahun ini, para arkeolog menyebutnya sebagai hiatus atau jeda Tikal dan menjadikannya sebuah misteri Maya kuno.
Hutan rimba Petén kering kerontang pada musim kemarau serta nyaris tak dapat dilewati pada musim hujan. Di sana terdapat banyak tumbuhan dan serangga beracun, serta ancaman dari penyelundup narkoba yang memiliki senjata. Namun demikian, Marcus tetap saja menjelajahinya selama berbulan-bulan, menyambangi reruntuhan dan mengumpulkan foto-foto berbagai glif. Ke mana pun ia pergi, wanita ini melihat hal yang mengacu kepada si ular yang menyeringai, terutama di sekitar kota kuno Calakmul, di daerah yang kini menjadi Meksiko.
“Situs-situs yang lebih kecil ini menyebutkan kota yang berada di tengahnya. Sehingga, ini jadi seperti semacam lubang hitam,” ujar Marcus. “Calakmul menjadi pusat jaringan dari tempat-tempat di sekitarnya yang berjarak sama dari kota ini.”
Saat ia akhirnya tiba di Calakmul, dengan kedua piramida pusatnya amat mudah dikenali dari udara, Marcus amat kagum dengan ukuran kota ini—sekitar 50.000 orang pernah tinggal di sana. Stela tersebar di mana-mana, tetapi kebanyakan polos. Batu kapurnya begitu lunak sehingga erosi berabad-abad telah membuatnya menjadi mulus. Ia hanya menemukan dua glif ular di kota itu.
Misteri sang ular telah menarik perhatian seorang peneliti muda dari Inggris, Simon Martin, untuk mengumpulkan semua informasi yang bisa ia dapatkan tentang glif ular dari Calakmul dan situs-situs yang lebih kecil. Ia menggunakan petunjuk dari pertempuran dan intrik politik seputar dunia Maya untuk membentuk gambaran tentang para Ular dan wangsa mereka.
“Kita hanya benar-benar tahu tentang Tikal dari Tikal sendiri. Sementara untuk Calakmul, kita mengetahuinya dari tempat-tempat lain,” ungkap Martin. “Ini seperti hal yang menyatu di tengah-tengah kabut. Sedikit demi sedikit, hal-hal penting dari semua kemunculan acak ini mulai menunjuk ke arah yang sama.”
Pada akhirnya, Martin dan arkeolog Nikolai Grube menerbitkan buku berjudul Chronicle of the Maya Kings and Queens yang memaparkan sejarah yang saling bertautan antara kerajaan-kerajaan di dunia Maya kuno. Para Ular menjadi pusat dunia itu selama sekitar satu abad yang cemerlang. Seperti halnya Marcus, Martin mengatakan bahwa kerajaan Ular tak ubahnya sebuah lubang hitam—yang mengisap semua kota yang ada di sekitarnya dan menciptakan sesuatu yang mungkin saja merupakan sebuah kekaisaran Maya.
Tentu saja masih ada banyak pertanyaan sehubungan dengan para Ular ini: seperti apa mereka hidup, memerintah, dan berperang —dan bahkan apakah beberapa di antaranya benar-benar nyata.
pada akhir abad ke-5, Tikal merupakan salah satu negara-kota yang paling kuat di wilayah itu. Para ahli arkeologi memperkirakan bahwa Tikal mempertahankan kekuasaannya dengan bantuan dari sebuah kota yang jauh lebih besar lagi yang terletak tinggi di pegunungan sejauh 1.000 kilometer ke arah barat bernama Teotihuacan, di dekat Mexico City sekarang. Selama berabad-abad, kedua kota ini membentuk lukisan, arsitektur, gerabah, persenjataan, dan tata kota bangsa Maya. Akan tetapi, semua itu berubah pada abad ke enam, ketika Teotihuacan terpisah dari wilayah Maya dan Tikal pun harus mempertahankan dirinya sendiri.
Lalu, masuklah para Ular. Tak ada yang yakin dari mana mereka datang; tak ada bukti tentang kekuasaan mereka di Calakmul sebelum tahun 635. Beberapa ahli membayangkan ratusan tahun sebelum masa Klasik, para Ular berpindah dari tempat satu ke tempat lain, menciptakan satu demi satu kota-kota besar. Namun, ini hanyalah tebakan. Glif ular pertama yang jelas terlihat, agaknya muncul di Dzibanché, sebuah kota di bagian selatan Meksiko, 125 kilometer jauhnya di sebelah timur laut Calakmul.
Di mana pun markas para Ular itu, kita tahu bahwa mulai dari awal abad ke enam, dua raja Ular berturut-turut menyadari bahwa Tikal tak terlindungi sehingga mereka mengambil tindakan demi memperoleh kendali politik. Raja yang pertama, Jaguar Tangan Batu, menghabiskan masa berdasawarsa-dasawarsa untuk mengambil hati seluruh wilayah dataran rendah Maya.
Berbagai kunjungan ini sekarang tampaknya punya maksud tulus—menyelenggarakan pernikahan, mengadakan permainan bola Maya kuno (olahraga yang menggunakan sebuah bola, beberapa tongkat, dan sejumlah lingkaran batu), mungkin hanya sekadar mampir untuk menyapa. Akan tetapi, beginilah penaklukan sering dilakukan di dunia Maya—dengan menawarkan hadiah, memberikan penghormatan, membentuk sekutu yang amat penting. Kelihatannya tak ada yang lebih lihai dalam hal ini ketimbang para Ular.
Tak lama, sekutu sebelah tenggara Tikal, Caracol, juga memihak para Ular. Begitu pula Waka, sebuah kota yang gemar berperang di sebelah barat. Para Ular dengan sabar mengumpulkan kesetiaan dari kota-kota lain di sisi utara, timur, dan barat Tikal, sehingga membentuk sebuah penjepit besar untuk meremukkan musuh. Jaguar Tangan Batu dan sekutunya akhirnya siap untuk bergerak ke arah Tikal, tetapi sang penguasa Ular mengembuskan napas terakhir sebelum manuver politiknya membuahkan hasil. Penerusnyalah (dan mungkin putranya), Saksi Angkasa, yang bertugas melontarkan jebakannya. Sang raja muda pastilah berperawakan mengesankan. Para ilmuwan yang mempelajari sisa jasadnya mengatakan bahwa tubuhnya besar dan kuat dan tengkoraknya berkali-kali terkena serangan dalam pertempuran, dengan bekas luka yang tergores di atas bekas luka yang lama.
Menurut tulisan pada suatu altar di Caracol, Saksi Angkasa mengakhiri kekuasaan Tikal pada 29 April 562. Sang raja menempatkan segala hal sesuai strateginya, lalu menyerbu. Ia memimpin tentara Ular bergerak ke timur dari Waka, sementara pasukan dari Caracol, negara-kota Naranjo di dekat situ, serta barangkali Holmul, bergerak ke arah barat.
Sejarah Maya selama 30 tahun berikutnya agak kabur. Namun, berkat arkeolog Meksiko Enrique Nalda dan Sandra Balanzario, kita jadi mengetahui bahwa Saksi Angkasa wafat 10 tahun setelah kemenangannya, saat ia berusia 30-an awal. Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara. Salah satu sisi jarum itu bertuliskan, “Inilah persembahan darah Saksi Angkasa.” Dari delapan raja Ular yang berkuasa selama masa hiatus Tikal, ia adalah satu dari hanya dua raja yang sisa jasadnya diketemukan.
Kali berikutnya para Ular muncul jauh di barat, di kota Palenque yang mewah. Tak seperti metropolis Tikal dan Calakmul yang ada di dataran rendah yang lebih kering, Palenque begitu anggun dan canggih. Piramida-piramidanya yang elegan berlapiskan plester. Menara pengawasnya bertengger di kaki pegunungan yang memanjang ke Teluk Meksiko dan dataran tinggi bagian tengah. Berkat sungai dan air terjun yang melimpah, kota ini punya banyak air dan bahkan mungkin memiliki toilet dengan air yang mengalir.
Palenque bukanlah kota yang amat besar—mungkin dengan 10.000 jiwa—tetapi merupakan merucusuar peradaban dan gerbang bagi perdagangan ke wilayah barat, menjadikannya target utama bagi kekuasaan baru yang ambisius. Pada saat itu para Ular dipimpin oleh seorang raja bernama Uneh Chan atau Ular Gulung yang, seperti para pendahulunya, menyerang dengan menggunakan duta dan sekutu. Ratu Palenque yang bernama Jantung dari Tempat Berangin mempertahankan kotanya dari serbuan para Ular tetapi lalu menyerah pada 21 April 599.
Desakan perluasan wilayah sedemikan rupa sangatlah jarang terjadi di kalangan orang Maya Klasik yang sering digambarkan sebagai orang-orang yang suka bertengkar dan terpecah-belah. Mereka juga terfokus kepada wilayahnya sendiri tanpa ambisi yang lebih besar. Para Ular berbeda.
“Serangan terhadap Palenque adalah bagian dari rencana yang lebih besar,” ujar Guillermo Bernal, seorang epigrafis atau ahli inskripsi di Universidad Nacional Autónoma de México. “Saya pikir alasannya bukanlah bersifat materi —lebih ideologis. Kaanul mempunyai visi menciptakan sebuah kekaisaran.”
Gagasan membangun kekaisaran ini kontroversial di kalangan para arkeolog Maya. Banyak dari mereka berpendapat, konsep ini secara budaya dan geografis tidaklah dapat diterapkan. Namun tetap saja, jika melihat para Ular, sulit untuk tidak melihat sebuah pola ekspansi. Mereka bersekutu dengan kota-kota terbesar di timur, menaklukkan yang ada di selatan, dan berdagang dengan orang-orang di utara. Palenque mewakili tepi dunia Maya di sebelah barat. Akan tetapi, tanpa kuda dan tentara yang siap sedia, bagaimana mereka bisa melakukannya?
Untuk memiliki pengaruh terhadap wilayah yang amat jauh, mungkin sebesar separuh wilayah Bekasi, diperlukan suatu pengaturan yang belum pernah ada bagi orang Maya. Juga diperlukan sebuah tampuk kekuasaan baru, yang lebih dekat dengan kota-kota di selatan yang kaya akan giok. Dzibanché 125 kilometer jauhnya dari Calakmul, sebuah jarak yang luar biasa bagi orang-orang yang berjalan kaki dalam rimbunan belantara. Tak ada catatan tentang kepindahan ke ibu kota baru Calakmul, tetapi pada 635 para Ular mendirikan sebuah monumen yang mengumumkan bahwa diri mereka adalah penguasa kota itu, setelah menyingkirkan wangsa sebelumnya di sana yang dikenal sebagai para Kelelawar.
Dalam jangka waktu satu tahun, penguasa Ular terbesar—barangkali raja Maya yang terbesar—naik takhta. Namanya adalah Yuknoom Cheen II, atau Pengguncang Kota, begitu kadang kala ia disebut. Saksi Angkasa dan Ular Gulung memang penakluk ulung, tetapi Yuknoom Cheen merupakan raja sejati. Tak ubahnya Cyrus di Persia atau Augustus di Roma, ia dengan lihai mengadu domba kota-kota—ada yang disuap, ada yang diancam—selagi memperkuat cengkeraman kekuasaannya di dataran rendah Maya. Cara ini tak seperti yang dilakukan raja-raja Maya sebelum dan sesudahnya. Dan ia mempertahankan tindakan perimbangan politik ini selama 50 tahun.
Cara terbaik untuk memahami seorang raja adalah lewat hamba-hambanya. Begitu pun, cara terbaik untuk memahami sebuah kekaisaran sering kali adalah dengan melihat dari kota bawahannya. Barangkali hamba bagi para Ular yang paling menarik adalah sebuah kota kecil yang tak terlalu mengagumkan bernama Saknikte.
Bisa dikatakan, para arkeolog menemukan situs itu dua kali. Pada awal 1970-an mereka telah menemukan serangkaian panel batu yang beredar di pasar gelap. Panel-panel yang dipahat amat indah dengan tulisan yang rumit ini adalah benda jarahan perampok dan dijual di luar negeri tanpa ada cara untuk bisa melacak asal-usulnya. Pada panel-panel itu di sana-sini terdapat glif ular menyeringai. Para arkeolog menamai tempat tak dikenal yang merupakan tempat para perampok menemukan benda-benda itu sebagai Situs Q.
Situs Q menjadi semacam Tabut Perjanjian bagi arkeolog seperti Marcello Canuto. Saknikte, nama Maya situs itu, kelihatannya memiliki status istimewa di kerajaan Ular. Para pangerannya pergi ke Calakmul untuk mengenyam pendidikan, dan tiga di antaranya menikahi putri-putri Ular. Tak seperti kota pejuang Waka di sebelah selatannya, Saknikte tidak banyak ikut di pertempuran. Raja-rajanya memiliki nama-nama damai yang secara harafiah diterjemahkan sebagai Anjing Cerah, Cacing Putih, dan Kalkun Merah. Panel-panelnya mengisahkan para bangsawan meminum arak dan bermain seruling.
Menurut panel berukir, Yuknoom Cheen mengunjungi tempat itu tepat sebelum ibu kota Ular secara resmi pindah ke Calakmul. Potret yang elegan memperlihatkan Yuknoom Cheen duduk, tampak santai, memandang ke samping sementara raja Saknikte menatap.
Nama Yuknoom Cheen muncul di segenap wilayah Maya. Ia menikahkan putrinya Tangan Teratai dengan seorang pangeran Waka; belakangan sang putri menjadi ratu kesatria yang berkuasa besar. Ia juga menempatkan raja-raja baru di Cancuén, di sebelah selatan, dan Moral-Reforma, hampir 160 kilometer di sebelah barat. Di Dos Pilas, ia menaklukkan saudara dari raja baru Tikal dan mengubahnya menjadi pengikut yang setia.
Sementara itu, raja-raja Ular di Calakmul mengenakan gelar yang lebih besar lagi: kaloomte. Raja diraja.
“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”
Para Ular tak melepaskan perhatiannya dari musuh lamanya, Tikal, yang berkali-kali mencoba untuk bangkit kembali dan membalas dendam. Pada 657, setelah memperkuat sekutunya, Yuknoom Cheen dan seorang raja boneka di dekat situ, seorang pria ambisius bernama Dewa yang Memalu Angkasa, menyerang Tikal. Dua dasawarsa kemudian, Tikal bangkit lagi, dan sang raja Ular sekali lagi mengatur agar kota itu kalah dan membunuh rajanya.
Bagaimana Tikal masih bisa mengancam para Ular yang kelihatannya memiliki banyak kekuatan? Para ahli berpendapat bahwa para raja Maya harus berhati-hati saat mempertahankan persekutuannya dan sering kali membiarkan raja yang kalah tetap hidup. Bisa saja pertempuran Maya Klasik sebagian besar bersifat seremonial. Atau mungkin, persekutuan para raja yang kalah, memohon ampun. Atau barangkali raja-raja Maya biasanya tidak memiliki cukup banyak tentara untuk menghabisi sebuah kota.
Apa pun alasannya, Yuknoom Cheen melakukan permainan politik yang rentan. Ia justru mengadakan pertemuan perdamaian dengan raja baru Tikal. Saat itulah ia memperkenalkan penerusnya (kemungkinan putranya), Cakar Api, yang kelak akan mewarisi kerajaannya. Dan akan benar-benar kehilangan kerajaan itu selama-lamanya.
Di usianya yang telah lanjut, sekitar 86 tahun, Yuknoom Cheen mengembuskan napas terakhir. Bagi sebagian besar penduduk Calakmul, mencapai setengah saja dari usia itu sudah beruntung. Namun, raja-rajanya adalah orang yang mendapat banyak kenyamanan, hanya memakan tamale yang lembut, sehingga bahkan gigi mereka tampak lebih muda dari sewajarnya. Kekurangan gizi menyebar di kalangan masyarakat bawah, tetapi kaum elite bisa kelebihan berat badan dan mungkin ada yang mengidap diabetes.
Ada ahli yang berpendapat bahwa Cakar Api adalah orang yang seperti itu. Kemungkinan besar dia telah menjalankan kerajaan itu lama sebelum ayahnya tiada. Namun, sebagaimana putra para raja besar lainnya, ia kalah jauh dari ayahnya. Meski menerima berkali-kali kekalahan telak, Tikal bangkit lagi pada 695. Kali ini Tikal dipimpin oleh seorang raja muda dengan nama amat mengesankan, Dewa yang Menyapu Bersih Angkasa. Cakar Api pun mengerahkan kembali pasukan Ular untuk menghadapi pemberontakan Tikal.
Kita tak tahu pasti apa yang terjadi pada suatu hari di bulan Agustus itu. Para Ular ditakdirkan menempuh jalan berbeda. Beberapa tahun kemudian, dengan kekuasaan tercabik-cabik, Cakar Api pun meninggal dunia dan turut membawa pergi impian kekaisaran Ular. Sebagian besar arkeolog berpendapat bahwa para Ular tidak pernah jadi seperti semula lagi, tetapi terus memiliki pengaruh. Pada tahun 711, Naranjo, sekutu terkuat Ular, mengumumkan bahwa kota itu masih setia kepada Ular, dan 10 tahun kemudian seorang putri Ular muncul di Saknikte.
Pada pertengahan abad, para Ular telah kehilangan taringnya. Sebuah kota tetangga Calakmul mendirikan sebuah stela yang merayakan kembalinya para raja Kelelawar dengan gambar kesatria menginjak seekor ular. Selama abad berikutnya, Tikal menghukum negara-negara kota yang telah membantu para Ular—Waka, Caracol, Naranjo, dan Holmul.
Namun demikian, Tikal tidak pernah mencapai kekuasaan sebesar yang diperoleh para Ular, dan pada pertengahan 800-an Maya Klasik pun mengalami keruntuhan. Baik itu karena terlalu banyak penduduk, ketidakstabilan, atau musim kering yang berkepanjangan, kota-kota Klasik itu menjadi kacau dan akhirnya pun ditinggalkan.
Apakah para Ular bisa saja mencegah keruntuhan itu? Apa yang akan terjadi jika saja Cakar Api mengalahkan Tikal pada 695?
“Saya rasa keruntuhan itu bisa saja dihindari,” ujar arkeolog David Freidel, yang memimpin ekskavasi di Waka. “Kegagalan untuk menyatukan wilayah pusat dunia Maya di bawah satu pemerintahan adalah faktor utama terjadinya kemerosotan menuju anarki, peperangan yang meluas, dan kerentanan terhadap kekeringan.”
Suatu hari kelak kita mungkin akan mendapatkan jawabannya. Empat puluh tahun yang lalu para raja Ular hanyalah sebuah desas-desus. Kini kita tahu bahwa mereka memimpin kerajaan Maya yang terbesar dan terkuat yang pernah ada.
Tak jarang para ahli pun tak sepakat. Ramón Carrasco, arkeolog yang mengamati situs Calakmul, mengatakan bahwa para Ular tak pernah tinggal di Dzibanché dan tak pernah pudar kejayaannya. Ia melihat bukti yang sama, tetapi memiliki kesimpulan berbeda.
Karenanya, para arkeolog terus mencari petunjuk lagi. Pada 1996, Carrasco mengekskavasi struktur bangunan terbesar di Calakmul, sebuah piramida anggun yang dibuat sebelum 300 SM. Di dekat puncaknya, ia menemukan sisa-sisa sebuah jasad. Dan di bawah itu, ada sebuah ruang.
“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”
Butuh sembilan bulan untuk menggali kubur itu dengan aman dan mengekskavasinya. Ketika akhirnya Carrasco masuk, ia tahu bahwa ia telah menemukan seorang raja besar. Jasad raja itu dibalut dengan syal yang bagus dan ditaburi dengan manik-manik. Sang raja tidak sendiri—seorang wanita muda dan seorang anak-anak telah dikurbankan dan diletakkan di sebuah ruang di dekat situ.
Tubuh sang raja, menurut Carrasco, “diselimuti lumpur dan debu. Kita bisa lihat beberapa manik-manik giok, tapi tidak terlihat ada topeng.” Jadi, ia mengambil sebuah kuas dan mulai membersihkannya dengan hati-hati. “Hal pertama yang saya lihat adalah sebuah mata—menatap saya dari masa lalu.”
Mata itu berada di sebuah topeng giok indah yang dibuat untuk menghormati sang raja di alam baka. Analisis yang dilakukan belakangan menunjukkan, bahwa ia adalah pria yang gempal. Bahkan orang ini mungkin gemuk, dengan ligamen yang mengeras di tulang punggungnya. Makamnya dihiasi dengan elegan.
Di dekat situ diletakkan hiasan kepala dari batu giok, yang di bagian tengahnya pernah terdapat tapak jaguar. Di sebelahnya ada piring keramik berkepala ular menyeringai dengan inskripsi “piring Cakar Api."
Perhatikanlah dengan lebih saksama, maka kita bisa melihat bahwa sebagian besar bukit itu tersusun dalam lingkaran besar, tak ubahnya pengelana yang berkerumun mengelilingi api unggun pada malam yang dingin. Lihat lebih dekat lagi, maka terungkaplah bahwa sebagian dari bukit-bukit itu terbentuk dari potongan batu dan beberapa di antaranya memiliki terowongan yang digali masuk dari lerengnya. Sesungguhnya ini sama sekali bukan perbukitan, melainkan piramida kuno, terbengkalai dan lapuk setelah runtuhnya peradaban Maya satu milenium silam.
Situs ini merupakan permukiman yang makmur selama masa Maya Klasik (250-900 M), masa ketika tulisan dan kebudayaan berkembang pesat di segenap daerah yang kini menjadi Amerika Tengah dan Meksiko bagian selatan.Situs ini merupakan permukiman yang makmur selama masa Maya Klasik (250-900 M), masa ketika tulisan dan kebudayaan berkembang pesat di segenap daerah yang kini menjadi Amerika Tengah dan Meksiko bagian selatan. Namun, masa itu juga merupakan masa pergolakan politik: Dua negara-kota yang berseteru terbelit dalam konflik tak berkesudahan, bergumul demi memperoleh kekuasaan tertinggi. Dalam waktu yang singkat, salah satu negara-kota itu unggul dan membentuk sesuatu yang paling mirip dengan kekaisaran dalam sejarah orang Maya. Negeri itu dikuasai oleh raja-raja Ular dari wangsa Kaanul, yang sampai hanya beberapa dasawarsa silam keberadaannya bahkan tak diketahui siapa pun. Berkat situs-situs di sekitar negara-kota ini, termasuk Holmul, kini arkeolog menyusun kembali kisah raja Ular.
Holmul bukanlah situs yang besar dan terkenal seperti Tikal yang ada di dekatnya. Tempat ini sering kali diabaikan oleh para arkeolog sampai pada 2000, ketika Fransisco Estrada-Belli, tiba. Lelaki berkebangsaan Guatemala yang lahir di Italia ini berparas tampan, dengan rambut tak beraturan dan pembawaan yang santai. Ia tidak mencari sesuatu yang wah, seperti prasasti dari masa Klasik atau makam penuh hiasan—hanya mencari penjelasan tentang asal-usul orang Maya. Salah satu hal pertama yang ia temukan adalah sebuah bangunan, beberapa kilometer jauhnya dari yang kelihatannya adalah kelompok piramida utama Holmul. Di situ ada sisa mural atau lukisan dinding yang memperlihatkan gambar sejumlah prajurit dalam perjalanan menuju tempat amat jauh.
Anehnya, bagian dari mural itu dihancurkan, kelihatannya oleh orang Maya sendiri. Seolah mereka ingin menghapus sejarah yang digambarkannya. Estrada-Belli pun menggali terowongan di sejumlah piramida di dekat situ. Orang Mesoamerika kuno membangun piramida mereka berlapis-lapis, satu lapisan di luar lapisan yang lama, seperti boneka kayu matryoshka Rusia. Saat penduduk Holmul menambahkan lapisan baru, mereka menjaga baik-baik lapisan di bawahnya. Peneliti pun bisa membuat terowongan dan melihat struktur lama di bawahnya, berbentuk nyaris persis sebagaimana stuktur itu ditinggalkan.
Pada 2013, Estrada-Belli dan timnya bekerja memasuki salah satu piramida yang lebih besar, menelusuri alur sebuah undak-undakan kuno menuju pintu masuk sebuah bangunan tempat upacara. Setelah naik melalui sebuah lubang di lantai, mereka menemukan relief sepanjang delapan meter, dengan kondisi amat bagus, di atas pintu masuk makam kuno.
Relief berlapis plester sangatlah langka dan rapuh. Relief yang satu ini memperlihatkan tiga orang pria, termasuk seorang raja Holmul, yang muncul dari mulut monster aneh yang didampingi oleh makhluk dunia bawah, dilingkari oleh dua ular raksasa berbulu. Karya seni ini megah dan amat meriah.
Saat Estrada-Belli memandangi relief itu, ia mengamati serangkaian pahatan di bagian bawah. Sambil berlutut, ia melihat deretan karakter kata, atau glif, berisikan daftar raja-raja Holmul. Agak di tengah deretan itu ada sebuah glif yang langsung ia ketahui sebagai penemuan paling cemerlang dalam kariernya: seekor ular yang menyeringai.
“Di antara berbagai glif, saya melihat [nama] Kaanul,” ujarnya. Tiba-tiba saja, kami berada di tengah-tengah bagian yang paling menarik dalam sejarah Maya.”
Kisah tentang penemuan Kaanul, atau para Ular, dan usaha mereka untuk membangun sebuah kekaisaran dimulai di Tikal, kota besar dari musuh yang paling mereka benci. Sebagaimana Tikal mendominasi dataran rendah Maya selama berabad-abad, tempat itu juga mendominasi arkeologi Maya sejak 1950-an. Kota yang luas itu pernah memiliki populasi mencapai 60.000 jiwa, dan bangunan anggunnya sungguh membuat pengunjung pada 750 M terpana, seperti halnya mereka memukau para wisatawan masa kini.
Tikal juga memiliki ratusan balok prasasti serupa batu nisan penuh pahatan indah yang disebut stela. Dengan menggunakan inskripsi di stela itu, para ilmuwan merekonstruksi sejarah Tikal sampai kejatuhannya di abad ke sembilan. Akan tetapi, ada celah aneh—sekitar tahun 560 sampai 690—saat tak ada stela yang dipahat dan hanya sedikit hal lain yang dibangun. Dibingungkan oleh jeda selama 130 tahun ini, para arkeolog menyebutnya sebagai hiatus atau jeda Tikal dan menjadikannya sebuah misteri Maya kuno.
Para arkeolog mulai mengisi masa kosong ini pada 1960-an, ketika mereka menyadari adanya sebuah glif aneh yang tersebar di area berbagai situs Klasik—sebuah kepala ular dengan seringai serupa badut dan dikelilingi tanda-tanda yang berhubungan dengan kerajaan.Para arkeolog mulai mengisi masa kosong ini pada 1960-an, ketika mereka menyadari adanya sebuah glif aneh yang tersebar di area berbagai situs Klasik—sebuah kepala ular dengan seringai serupa badut dan dikelilingi tanda-tanda yang berhubungan dengan kerajaan. Pada 1973, arkeolog Joyce Marcus mengenalinya sebagai glif emblem—kata yang mewakili sebuah kota atau gelar kekuasaan dan berfungsi sebagai semacam panji-panji kebesaran. Ia pun bertanya-tanya apakah glif ini ada hubungannya dengan masa hiatus Tikal. Bagaimana jika sejumlah pejuang tak dikenal telah menaklukkan kota itu?
Hutan rimba Petén kering kerontang pada musim kemarau serta nyaris tak dapat dilewati pada musim hujan. Di sana terdapat banyak tumbuhan dan serangga beracun, serta ancaman dari penyelundup narkoba yang memiliki senjata. Namun demikian, Marcus tetap saja menjelajahinya selama berbulan-bulan, menyambangi reruntuhan dan mengumpulkan foto-foto berbagai glif. Ke mana pun ia pergi, wanita ini melihat hal yang mengacu kepada si ular yang menyeringai, terutama di sekitar kota kuno Calakmul, di daerah yang kini menjadi Meksiko.
“Situs-situs yang lebih kecil ini menyebutkan kota yang berada di tengahnya. Sehingga, ini jadi seperti semacam lubang hitam,” ujar Marcus. “Calakmul menjadi pusat jaringan dari tempat-tempat di sekitarnya yang berjarak sama dari kota ini.”
Saat ia akhirnya tiba di Calakmul, dengan kedua piramida pusatnya amat mudah dikenali dari udara, Marcus amat kagum dengan ukuran kota ini—sekitar 50.000 orang pernah tinggal di sana. Stela tersebar di mana-mana, tetapi kebanyakan polos. Batu kapurnya begitu lunak sehingga erosi berabad-abad telah membuatnya menjadi mulus. Ia hanya menemukan dua glif ular di kota itu.
Misteri sang ular telah menarik perhatian seorang peneliti muda dari Inggris, Simon Martin, untuk mengumpulkan semua informasi yang bisa ia dapatkan tentang glif ular dari Calakmul dan situs-situs yang lebih kecil. Ia menggunakan petunjuk dari pertempuran dan intrik politik seputar dunia Maya untuk membentuk gambaran tentang para Ular dan wangsa mereka.
“Kita hanya benar-benar tahu tentang Tikal dari Tikal sendiri. Sementara untuk Calakmul, kita mengetahuinya dari tempat-tempat lain,” ungkap Martin. “Ini seperti hal yang menyatu di tengah-tengah kabut. Sedikit demi sedikit, hal-hal penting dari semua kemunculan acak ini mulai menunjuk ke arah yang sama.”
Pada akhirnya, Martin dan arkeolog Nikolai Grube menerbitkan buku berjudul Chronicle of the Maya Kings and Queens yang memaparkan sejarah yang saling bertautan antara kerajaan-kerajaan di dunia Maya kuno. Para Ular menjadi pusat dunia itu selama sekitar satu abad yang cemerlang. Seperti halnya Marcus, Martin mengatakan bahwa kerajaan Ular tak ubahnya sebuah lubang hitam—yang mengisap semua kota yang ada di sekitarnya dan menciptakan sesuatu yang mungkin saja merupakan sebuah kekaisaran Maya.
Tentu saja masih ada banyak pertanyaan sehubungan dengan para Ular ini: seperti apa mereka hidup, memerintah, dan berperang —dan bahkan apakah beberapa di antaranya benar-benar nyata.
pada akhir abad ke-5, Tikal merupakan salah satu negara-kota yang paling kuat di wilayah itu. Para ahli arkeologi memperkirakan bahwa Tikal mempertahankan kekuasaannya dengan bantuan dari sebuah kota yang jauh lebih besar lagi yang terletak tinggi di pegunungan sejauh 1.000 kilometer ke arah barat bernama Teotihuacan, di dekat Mexico City sekarang. Selama berabad-abad, kedua kota ini membentuk lukisan, arsitektur, gerabah, persenjataan, dan tata kota bangsa Maya. Akan tetapi, semua itu berubah pada abad ke enam, ketika Teotihuacan terpisah dari wilayah Maya dan Tikal pun harus mempertahankan dirinya sendiri.
Lalu, masuklah para Ular. Tak ada yang yakin dari mana mereka datang; tak ada bukti tentang kekuasaan mereka di Calakmul sebelum tahun 635. Beberapa ahli membayangkan ratusan tahun sebelum masa Klasik, para Ular berpindah dari tempat satu ke tempat lain, menciptakan satu demi satu kota-kota besar. Namun, ini hanyalah tebakan. Glif ular pertama yang jelas terlihat, agaknya muncul di Dzibanché, sebuah kota di bagian selatan Meksiko, 125 kilometer jauhnya di sebelah timur laut Calakmul.
Di mana pun markas para Ular itu, kita tahu bahwa mulai dari awal abad ke enam, dua raja Ular berturut-turut menyadari bahwa Tikal tak terlindungi sehingga mereka mengambil tindakan demi memperoleh kendali politik. Raja yang pertama, Jaguar Tangan Batu, menghabiskan masa berdasawarsa-dasawarsa untuk mengambil hati seluruh wilayah dataran rendah Maya.
Berbagai kunjungan ini sekarang tampaknya punya maksud tulus—menyelenggarakan pernikahan, mengadakan permainan bola Maya kuno (olahraga yang menggunakan sebuah bola, beberapa tongkat, dan sejumlah lingkaran batu), mungkin hanya sekadar mampir untuk menyapa. Akan tetapi, beginilah penaklukan sering dilakukan di dunia Maya—dengan menawarkan hadiah, memberikan penghormatan, membentuk sekutu yang amat penting. Kelihatannya tak ada yang lebih lihai dalam hal ini ketimbang para Ular.
Tak lama, sekutu sebelah tenggara Tikal, Caracol, juga memihak para Ular. Begitu pula Waka, sebuah kota yang gemar berperang di sebelah barat. Para Ular dengan sabar mengumpulkan kesetiaan dari kota-kota lain di sisi utara, timur, dan barat Tikal, sehingga membentuk sebuah penjepit besar untuk meremukkan musuh. Jaguar Tangan Batu dan sekutunya akhirnya siap untuk bergerak ke arah Tikal, tetapi sang penguasa Ular mengembuskan napas terakhir sebelum manuver politiknya membuahkan hasil. Penerusnyalah (dan mungkin putranya), Saksi Angkasa, yang bertugas melontarkan jebakannya. Sang raja muda pastilah berperawakan mengesankan. Para ilmuwan yang mempelajari sisa jasadnya mengatakan bahwa tubuhnya besar dan kuat dan tengkoraknya berkali-kali terkena serangan dalam pertempuran, dengan bekas luka yang tergores di atas bekas luka yang lama.
Menurut tulisan pada suatu altar di Caracol, Saksi Angkasa mengakhiri kekuasaan Tikal pada 29 April 562. Sang raja menempatkan segala hal sesuai strateginya, lalu menyerbu. Ia memimpin tentara Ular bergerak ke timur dari Waka, sementara pasukan dari Caracol, negara-kota Naranjo di dekat situ, serta barangkali Holmul, bergerak ke arah barat.
Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara.Para Ular dan sekutunya dengan cepat menggilas Tikal, merampasnya, dan kemungkinan besar mengurbankan raja kota itu dengan sebilah belati batu di atas altarnya sendiri. Kemungkinan besar, ini adalah waktu ketika orang-orang Holmul hampir menghancurkan mural yang nantinya akan ditemukan oleh Estrada-Belli 1.400 tahun kemudian. Isi mural ini memperlihatkan rasa hormat kepada Tikal dan Teotihuacan—sebagai tanda kesetiaan mereka kepada penguasa baru sang Ular. Masa kekuasaan para Ular pun dimulai.
Sejarah Maya selama 30 tahun berikutnya agak kabur. Namun, berkat arkeolog Meksiko Enrique Nalda dan Sandra Balanzario, kita jadi mengetahui bahwa Saksi Angkasa wafat 10 tahun setelah kemenangannya, saat ia berusia 30-an awal. Pada 2004, kedua arkeolog itu mengungkap serangkaian makam dalam sebuah piramida di Dzibanché. Di sana mereka menemukan jarum tulang yang digunakan untuk ritual darah di tengah-tengah sejumlah topeng giok, batu obsidian, dan mutiara. Salah satu sisi jarum itu bertuliskan, “Inilah persembahan darah Saksi Angkasa.” Dari delapan raja Ular yang berkuasa selama masa hiatus Tikal, ia adalah satu dari hanya dua raja yang sisa jasadnya diketemukan.
Kali berikutnya para Ular muncul jauh di barat, di kota Palenque yang mewah. Tak seperti metropolis Tikal dan Calakmul yang ada di dataran rendah yang lebih kering, Palenque begitu anggun dan canggih. Piramida-piramidanya yang elegan berlapiskan plester. Menara pengawasnya bertengger di kaki pegunungan yang memanjang ke Teluk Meksiko dan dataran tinggi bagian tengah. Berkat sungai dan air terjun yang melimpah, kota ini punya banyak air dan bahkan mungkin memiliki toilet dengan air yang mengalir.
Palenque bukanlah kota yang amat besar—mungkin dengan 10.000 jiwa—tetapi merupakan merucusuar peradaban dan gerbang bagi perdagangan ke wilayah barat, menjadikannya target utama bagi kekuasaan baru yang ambisius. Pada saat itu para Ular dipimpin oleh seorang raja bernama Uneh Chan atau Ular Gulung yang, seperti para pendahulunya, menyerang dengan menggunakan duta dan sekutu. Ratu Palenque yang bernama Jantung dari Tempat Berangin mempertahankan kotanya dari serbuan para Ular tetapi lalu menyerah pada 21 April 599.
Desakan perluasan wilayah sedemikan rupa sangatlah jarang terjadi di kalangan orang Maya Klasik yang sering digambarkan sebagai orang-orang yang suka bertengkar dan terpecah-belah. Mereka juga terfokus kepada wilayahnya sendiri tanpa ambisi yang lebih besar. Para Ular berbeda.
“Serangan terhadap Palenque adalah bagian dari rencana yang lebih besar,” ujar Guillermo Bernal, seorang epigrafis atau ahli inskripsi di Universidad Nacional Autónoma de México. “Saya pikir alasannya bukanlah bersifat materi —lebih ideologis. Kaanul mempunyai visi menciptakan sebuah kekaisaran.”
Gagasan membangun kekaisaran ini kontroversial di kalangan para arkeolog Maya. Banyak dari mereka berpendapat, konsep ini secara budaya dan geografis tidaklah dapat diterapkan. Namun tetap saja, jika melihat para Ular, sulit untuk tidak melihat sebuah pola ekspansi. Mereka bersekutu dengan kota-kota terbesar di timur, menaklukkan yang ada di selatan, dan berdagang dengan orang-orang di utara. Palenque mewakili tepi dunia Maya di sebelah barat. Akan tetapi, tanpa kuda dan tentara yang siap sedia, bagaimana mereka bisa melakukannya?
Untuk memiliki pengaruh terhadap wilayah yang amat jauh, mungkin sebesar separuh wilayah Bekasi, diperlukan suatu pengaturan yang belum pernah ada bagi orang Maya. Juga diperlukan sebuah tampuk kekuasaan baru, yang lebih dekat dengan kota-kota di selatan yang kaya akan giok. Dzibanché 125 kilometer jauhnya dari Calakmul, sebuah jarak yang luar biasa bagi orang-orang yang berjalan kaki dalam rimbunan belantara. Tak ada catatan tentang kepindahan ke ibu kota baru Calakmul, tetapi pada 635 para Ular mendirikan sebuah monumen yang mengumumkan bahwa diri mereka adalah penguasa kota itu, setelah menyingkirkan wangsa sebelumnya di sana yang dikenal sebagai para Kelelawar.
Dalam jangka waktu satu tahun, penguasa Ular terbesar—barangkali raja Maya yang terbesar—naik takhta. Namanya adalah Yuknoom Cheen II, atau Pengguncang Kota, begitu kadang kala ia disebut. Saksi Angkasa dan Ular Gulung memang penakluk ulung, tetapi Yuknoom Cheen merupakan raja sejati. Tak ubahnya Cyrus di Persia atau Augustus di Roma, ia dengan lihai mengadu domba kota-kota—ada yang disuap, ada yang diancam—selagi memperkuat cengkeraman kekuasaannya di dataran rendah Maya. Cara ini tak seperti yang dilakukan raja-raja Maya sebelum dan sesudahnya. Dan ia mempertahankan tindakan perimbangan politik ini selama 50 tahun.
Cara terbaik untuk memahami seorang raja adalah lewat hamba-hambanya. Begitu pun, cara terbaik untuk memahami sebuah kekaisaran sering kali adalah dengan melihat dari kota bawahannya. Barangkali hamba bagi para Ular yang paling menarik adalah sebuah kota kecil yang tak terlalu mengagumkan bernama Saknikte.
Bisa dikatakan, para arkeolog menemukan situs itu dua kali. Pada awal 1970-an mereka telah menemukan serangkaian panel batu yang beredar di pasar gelap. Panel-panel yang dipahat amat indah dengan tulisan yang rumit ini adalah benda jarahan perampok dan dijual di luar negeri tanpa ada cara untuk bisa melacak asal-usulnya. Pada panel-panel itu di sana-sini terdapat glif ular menyeringai. Para arkeolog menamai tempat tak dikenal yang merupakan tempat para perampok menemukan benda-benda itu sebagai Situs Q.
Situs Q menjadi semacam Tabut Perjanjian bagi arkeolog seperti Marcello Canuto. Saknikte, nama Maya situs itu, kelihatannya memiliki status istimewa di kerajaan Ular. Para pangerannya pergi ke Calakmul untuk mengenyam pendidikan, dan tiga di antaranya menikahi putri-putri Ular. Tak seperti kota pejuang Waka di sebelah selatannya, Saknikte tidak banyak ikut di pertempuran. Raja-rajanya memiliki nama-nama damai yang secara harafiah diterjemahkan sebagai Anjing Cerah, Cacing Putih, dan Kalkun Merah. Panel-panelnya mengisahkan para bangsawan meminum arak dan bermain seruling.
Menurut panel berukir, Yuknoom Cheen mengunjungi tempat itu tepat sebelum ibu kota Ular secara resmi pindah ke Calakmul. Potret yang elegan memperlihatkan Yuknoom Cheen duduk, tampak santai, memandang ke samping sementara raja Saknikte menatap.
Nama Yuknoom Cheen muncul di segenap wilayah Maya. Ia menikahkan putrinya Tangan Teratai dengan seorang pangeran Waka; belakangan sang putri menjadi ratu kesatria yang berkuasa besar. Ia juga menempatkan raja-raja baru di Cancuén, di sebelah selatan, dan Moral-Reforma, hampir 160 kilometer di sebelah barat. Di Dos Pilas, ia menaklukkan saudara dari raja baru Tikal dan mengubahnya menjadi pengikut yang setia.
“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”Yuknoom Cheen juga membuat sebuah rute perdagangan baru di sisi barat kerajaannya, sehingga menghubungkan berbagai sekutu. Para ilmuwan telah menemukan sebuah kejanggalan dari kota-kota bawahan ini. Kelihatannya sekutu dekat tertentu tidak memiliki glif emblem mereka sendiri, serta rajanya walaupun penuh dengan perhiasan mewah, tidak memakai gelar kerajaan begitu mereka jatuh ke tangan para Ular.
Sementara itu, raja-raja Ular di Calakmul mengenakan gelar yang lebih besar lagi: kaloomte. Raja diraja.
“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”
Para Ular tak melepaskan perhatiannya dari musuh lamanya, Tikal, yang berkali-kali mencoba untuk bangkit kembali dan membalas dendam. Pada 657, setelah memperkuat sekutunya, Yuknoom Cheen dan seorang raja boneka di dekat situ, seorang pria ambisius bernama Dewa yang Memalu Angkasa, menyerang Tikal. Dua dasawarsa kemudian, Tikal bangkit lagi, dan sang raja Ular sekali lagi mengatur agar kota itu kalah dan membunuh rajanya.
Bagaimana Tikal masih bisa mengancam para Ular yang kelihatannya memiliki banyak kekuatan? Para ahli berpendapat bahwa para raja Maya harus berhati-hati saat mempertahankan persekutuannya dan sering kali membiarkan raja yang kalah tetap hidup. Bisa saja pertempuran Maya Klasik sebagian besar bersifat seremonial. Atau mungkin, persekutuan para raja yang kalah, memohon ampun. Atau barangkali raja-raja Maya biasanya tidak memiliki cukup banyak tentara untuk menghabisi sebuah kota.
Apa pun alasannya, Yuknoom Cheen melakukan permainan politik yang rentan. Ia justru mengadakan pertemuan perdamaian dengan raja baru Tikal. Saat itulah ia memperkenalkan penerusnya (kemungkinan putranya), Cakar Api, yang kelak akan mewarisi kerajaannya. Dan akan benar-benar kehilangan kerajaan itu selama-lamanya.
Di usianya yang telah lanjut, sekitar 86 tahun, Yuknoom Cheen mengembuskan napas terakhir. Bagi sebagian besar penduduk Calakmul, mencapai setengah saja dari usia itu sudah beruntung. Namun, raja-rajanya adalah orang yang mendapat banyak kenyamanan, hanya memakan tamale yang lembut, sehingga bahkan gigi mereka tampak lebih muda dari sewajarnya. Kekurangan gizi menyebar di kalangan masyarakat bawah, tetapi kaum elite bisa kelebihan berat badan dan mungkin ada yang mengidap diabetes.
Ada ahli yang berpendapat bahwa Cakar Api adalah orang yang seperti itu. Kemungkinan besar dia telah menjalankan kerajaan itu lama sebelum ayahnya tiada. Namun, sebagaimana putra para raja besar lainnya, ia kalah jauh dari ayahnya. Meski menerima berkali-kali kekalahan telak, Tikal bangkit lagi pada 695. Kali ini Tikal dipimpin oleh seorang raja muda dengan nama amat mengesankan, Dewa yang Menyapu Bersih Angkasa. Cakar Api pun mengerahkan kembali pasukan Ular untuk menghadapi pemberontakan Tikal.
Kita tak tahu pasti apa yang terjadi pada suatu hari di bulan Agustus itu. Para Ular ditakdirkan menempuh jalan berbeda. Beberapa tahun kemudian, dengan kekuasaan tercabik-cabik, Cakar Api pun meninggal dunia dan turut membawa pergi impian kekaisaran Ular. Sebagian besar arkeolog berpendapat bahwa para Ular tidak pernah jadi seperti semula lagi, tetapi terus memiliki pengaruh. Pada tahun 711, Naranjo, sekutu terkuat Ular, mengumumkan bahwa kota itu masih setia kepada Ular, dan 10 tahun kemudian seorang putri Ular muncul di Saknikte.
Pada pertengahan abad, para Ular telah kehilangan taringnya. Sebuah kota tetangga Calakmul mendirikan sebuah stela yang merayakan kembalinya para raja Kelelawar dengan gambar kesatria menginjak seekor ular. Selama abad berikutnya, Tikal menghukum negara-negara kota yang telah membantu para Ular—Waka, Caracol, Naranjo, dan Holmul.
Namun demikian, Tikal tidak pernah mencapai kekuasaan sebesar yang diperoleh para Ular, dan pada pertengahan 800-an Maya Klasik pun mengalami keruntuhan. Baik itu karena terlalu banyak penduduk, ketidakstabilan, atau musim kering yang berkepanjangan, kota-kota Klasik itu menjadi kacau dan akhirnya pun ditinggalkan.
Apakah para Ular bisa saja mencegah keruntuhan itu? Apa yang akan terjadi jika saja Cakar Api mengalahkan Tikal pada 695?
“Saya rasa keruntuhan itu bisa saja dihindari,” ujar arkeolog David Freidel, yang memimpin ekskavasi di Waka. “Kegagalan untuk menyatukan wilayah pusat dunia Maya di bawah satu pemerintahan adalah faktor utama terjadinya kemerosotan menuju anarki, peperangan yang meluas, dan kerentanan terhadap kekeringan.”
Suatu hari kelak kita mungkin akan mendapatkan jawabannya. Empat puluh tahun yang lalu para raja Ular hanyalah sebuah desas-desus. Kini kita tahu bahwa mereka memimpin kerajaan Maya yang terbesar dan terkuat yang pernah ada.
“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”Begitulah kerja arkeologi yang perlahan, yang membuat gemas. Dari kilasan dan potongan-potongan yang didapat, para ahli mencoba menyatukan kembali sebuah gambaran utuh tentang masa lalu.
Tak jarang para ahli pun tak sepakat. Ramón Carrasco, arkeolog yang mengamati situs Calakmul, mengatakan bahwa para Ular tak pernah tinggal di Dzibanché dan tak pernah pudar kejayaannya. Ia melihat bukti yang sama, tetapi memiliki kesimpulan berbeda.
Karenanya, para arkeolog terus mencari petunjuk lagi. Pada 1996, Carrasco mengekskavasi struktur bangunan terbesar di Calakmul, sebuah piramida anggun yang dibuat sebelum 300 SM. Di dekat puncaknya, ia menemukan sisa-sisa sebuah jasad. Dan di bawah itu, ada sebuah ruang.
“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”
Butuh sembilan bulan untuk menggali kubur itu dengan aman dan mengekskavasinya. Ketika akhirnya Carrasco masuk, ia tahu bahwa ia telah menemukan seorang raja besar. Jasad raja itu dibalut dengan syal yang bagus dan ditaburi dengan manik-manik. Sang raja tidak sendiri—seorang wanita muda dan seorang anak-anak telah dikurbankan dan diletakkan di sebuah ruang di dekat situ.
Tubuh sang raja, menurut Carrasco, “diselimuti lumpur dan debu. Kita bisa lihat beberapa manik-manik giok, tapi tidak terlihat ada topeng.” Jadi, ia mengambil sebuah kuas dan mulai membersihkannya dengan hati-hati. “Hal pertama yang saya lihat adalah sebuah mata—menatap saya dari masa lalu.”
Mata itu berada di sebuah topeng giok indah yang dibuat untuk menghormati sang raja di alam baka. Analisis yang dilakukan belakangan menunjukkan, bahwa ia adalah pria yang gempal. Bahkan orang ini mungkin gemuk, dengan ligamen yang mengeras di tulang punggungnya. Makamnya dihiasi dengan elegan.
Di dekat situ diletakkan hiasan kepala dari batu giok, yang di bagian tengahnya pernah terdapat tapak jaguar. Di sebelahnya ada piring keramik berkepala ular menyeringai dengan inskripsi “piring Cakar Api."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar