Menghilangnya Grand Canyon
Dua petualang menempuh 1.050 kilometer melintasi Grand Canyon, menyaksikan betapa pembangunan dapat merusak salah satu tempat yang paling dicintai di Amerika.
Oleh Kevin Fedarko“Jika tergelincir di sini, kamu tidak dapat berhenti. Kamu akan jatuh ke dalam jurang,” seru Rich Rudow. Dia tahu ini bukan tempat untuk menurunkan kewaspadaan. Kami berada di tebing yang tingginya sekitar 1.050 meter di atas Sungai Colorado di tepi Great Thumb Mesa, formasi bebatuan menakjubkan yang menyeruak keluar dari South Rim Grand Canyon ini, bagaikan haluan kapal raksasa. Ini salah satu tempat paling terpencil di ngarai ini, jarang terlihat bahkan oleh petualang ransel yang paling tangguh sekalipun. Jika sudah menjelajah hingga sejauh ini di Thumb, kita tidak mungkin turun ke sungai tanpa membawa peralatan mendaki. Persediaan makanan yang telah semakin berkurang dalam ransel membuat kita tidak mungkin melakukan perjalanan kembali, melalui jalur keberangkatan sepanjang delapan hari tersebut. Mau tak mau kita harus terus bergerak maju.Di depan, langkan yang telah kami telusuri selama beberapa hari terakhir menghilang ke dalam lekukan atau ceruk yang cukup dalam di dinding ngarai. Tempat ini dikenal sebagai Owl Eyes, berkat dua lubang oval besar yang masuk ke dalam tebing yang ada di tengah ceruk. Selain rongga tengkorak yang terlihat jelas, Owl Eyes memendam kisah tragis. Hampir empat tahun silam, pada suatu hari di bulan Februari yang cerah, seorang wanita muda cantik, teman Rudow, sedang melintasi jalur ini ketika terjatuh dan menemui ajalnya.
Sekarang kami menatap daerah yang sama, dalam kondisi yang jauh lebih parah. Badai menerjang pada malam sebelumnya dan melapisi ngarai dengan salju setebal 23 sentimeter. Ini bukan pemandangan yang kami bayangkan saat memulai penjelajahan Grand Canyon dari ujung ke ujung ini.
Ini bukan petualangan yang layak dicoba orang berakal sehat. Tidak ada satu pun jalur atau serangkaian jalur yang membentang lurus di sepanjang North Rim atau South Rim. Cara paling efisien untuk melintasi ngarai adalah menyusuri Sungai Colorado, yang berkelok-kelok menembus ngarai sejauh 433 kilometer. Itulah sebabnya John Wesley Powell—yang memimpin penjelajahan ngarai pertama yang terdokumentasikan—melakukannya dengan berperahu.
Tempat ini telah menjadi tempat berlibur ratusan juta keluarga dari seluruh dunia, gambarnya diabadikan pada sekian banyak kartu pos yang tak terhitung jumlahnya.Setelah keberhasilan Powell pada musim panas 1869, lebih dari satu abad berlalu, sebelum akhirnya ada orang yang melintasinya dengan berjalan kaki. Selama satu abad itu, ngarai telah berkembang dari cagar alam hutan menjadi monumen nasional, sampai akhirnya menjadi tempat wisata unggulan dalam National Park System dan dapat dikatakan menjadi lanskap paling dikenal dan dicintai di Amerika. Tempat ini telah menjadi tempat berlibur ratusan juta keluarga dari seluruh dunia, gambarnya diabadikan pada sekian banyak kartu pos yang tak terhitung jumlahnya. Namun, tidak seorang pun tahu cara melintasi keseluruhan ngarai itu hingga seorang pemandu sungai berusia 25 tahun bernama Kenton Grua melintasinya pada musim dingin 1976, sekitar 65 tahun setelah manusia mencapai Kutub Utara dan Selatan, dan 23 tahun setelah manusia pertama kalinya mendaki puncak Gunung Everest.
Renungkan dan bayangkan seberapa rumit dan liarnya tempat ini sesungguhnya.
Tidak ada yang dapat memastikan dengan tepat jarak yang dilalui Grua, tetapi berkat teluk yang tak terhitung jumlahnya, dia mungkin telah berjalan lebih dari 1.100 km selama penjelajahannya yang berlangsung 37 hari melintasi sisi selatan sungai dari Lees Ferry ke Grand Wash Cliffs.
Dia tidak pernah memublikasikan keberhasilannya. Namun, saat berita tentang apa yang telah dilakukannya itu perlahan menyebar, tantangan baru terbuka bagi komunitas kecil pendaki beransel ekstrem, termasuk Rich Rudow. Pada musim gugur 2015, Rudow berhasil menyelesaikan ratusan kali perjalanan dan eksplorasi ngarai sempit di ngarai mahaluas tersebut dan merasa siap menjawab tantangan terbesar dalam hidupnya: perjalanan 57 hari dari timur ke barat melintasi sisi utara ngarai.
Pada saat Rudow dan dua rekannya siap untuk memulai perjalanan—hampir 40 tahun setelah perjalanan Grua—tidak lebih dari dua puluh empat orang sajalah yang mengimbangi keberhasilannya dengan melakukan serangkaian pendakian terpisah menyusuri ngarai, yang dikenal sebagai pendakian “per bagian”. Jumlah penjelajah yang berhasil menyelesaikan pendakian “berkesinambungan” dalam sekali perjalanan bahkan lebih sedikit lagi. Sebelum 2015, jumlah orang yang berhasil berdiri di bulan (12) lebih banyak daripada orang yang berhasil menyelesaikan pendakian berkesinambungan di Grand Canyon (delapan).
Ketika juru foto Pete McBride mendengar rencana Rudow, dia menghubunginya dan bertanya apakah kami boleh bergabung dengan kelompoknya. Saya dan Pete telah bertahun-tahun berperahu di ngarai, tetapi kami sangat tidak siap untuk menghadapi pengalaman yang akan kami alami. Satu-satunya penjelasan mengapa Rudow menyetujui usulan kami adalah karena dia tertarik pada alasan utama mengapa kami ingin melakukannya: menyelidiki laporan memerihatinkan yang kami dengar tentang masa depan ngarai, termasuk pengembangan wisata baru, peningkatan jumlah penerbangan helikopter, dan tambang uranium.
Sejak ngarai itu mulai dikenal warga Amerika, Grand Canyon telah menimbulkan dua reaksi utama: dorongan untuk melindunginya dan godaan untuk menambang uang darinya. Selama bertahun-tahun setelah ekspedisi Powell, para penambang bergegas mendatangi ngarai untuk menambang tembaga, seng, perak, dan asbes. Pada 1880-an, seorang taipan ingin mengubah dasar ngarai menjadi jalur kereta api untuk mengangkut batu bara dari Denver ke California. (Dia tenggelam di Sungai Colorado, bersama dengan dua anggota ekspedisi surveinya.)
Perjalanan melintasi Grand Canyon bukanlah hal yang masuk akal jika dilakukan dengan berjalan kaki.Pada 1950-an, sebuah perusahaan tambang berusaha mengeruk kekayaan dengan membangun jalur kereta gantung raksasa untuk mengambil kotoran kelelawar dari sebuah gua dan menjualnya kepada petani mawar; tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Bahkan pernah ada rencana pemerintah untuk membangun sepasang bendungan hidroelektrik raksasa di pusat ngarai, proyek yang dapat mengubah sebagian besar Sungai Colorado menjadi serangkaian waduk.
Kampanye yang berhasil menghentikan proyek bendungan yang dipelopori Sierra Club pada 1960-an, mengusung pemikiran bahwa Grand Canyon tak boleh diusik. Namun, saya dan Pete mendengar adanya sejumlah proposal baru—banyak di antaranya diajukan oleh para pengusaha cerdik yang beroperasi tepat di luar batas ngarai di sejumlah daerah yang tidak dikuasai oleh National Park Service, tetapi di bawah U.S. Forest Service atau salah satu dari lima suku asli Amerika yang daerah reservat federalnya berada di sekitar ngarai. Dari keempat penjuru ngarai, berbagai ancaman, mulai dari pengembangan wisata kolosal dan wisata helikopter tanpa batas hingga tambang uranium, siap mencederai salah satu taman unggulan dunia.
Bagi saya dan Pete, tampaknya cara terbaik untuk memahami apa yang benar-benar dipertaruhkan adalah dengan mengikuti teladan Kenton Grua dan menjelajah langsung menembus ngarai menakjubkan itu.
“Bung, kau baik-baik sajakah?” gumam Pete sambil menggerakkan tubuh saya perlahan. ”Mau coba makan sesuatu sebelum kau benar-benar jatuh pingsan?”
Saat itu adalah akhir September, matahari sebentar lagi akan tenggelam pada hari pertama perjalanan kami, dan saya tergeletak di sepetak tanah tempat kami seharusnya menghabiskan malam.
Salah satu dari sekian banyak hal yang tidak saya persiapkan adalah kesiapan mental untuk menyadari bahwa awal perjalanan ini tidak dimulai dengan tantangan yang ringan. Ngarai langsung menghantam para penantangnya dengan daerah yang paling berat sejak awal perjalanan. Selain itu, kami harus memanggul ransel seberat 23 kilogram serta menghadapi gelombang panas awal musim gugur yang menyulut suhu hingga 43 derajat Celcius sehingga memeras setiap tetes air dari tubuh kami dan mulai mengelupas sol sepatu khusus kami.
Ngarai membangkitkan dua reaksi: dorongan untuk melindunginya dan godaan untuk menambang uang darinya.Keesokan harinya, kondisi Pete bahkan lebih buruk daripada saya. Dia mengalami kram otot begitu parah sehingga ketika melepaskan kemejanya, ibaratnya ada seekor tikus menggeliat masuk ke dalam perutnya dan berlari-lari dari bahu hingga perutnya, lalu kembali lagi ke bahu, tepat di bawah kulit.
Pada hari keenam, kami mengakui bahwa kami benar-benar kewalahan dan menyerah, membiarkan Rudow dan rekannya untuk melanjutkan. Dalam perjalanan keluar, Pete mengigau dan menjadi linglung. Saat tiba kembali di Flagstaff, dia didiagnosis terkena hiponatremia, ketidakseimbangan garam dan mineral akibat panas menyengat yang bisa berakhir dengan kematian.
Di akhir Oktober, meskipun terintimidasi tetapi tidak menyerah, kami kembali turun ke ngarai yang kini jauh lebih sejuk dan melanjutkan perjalanan, mulai di tempat kami keluar tiga minggu sebelumnya. Selama beberapa hari berikutnya, kami menjelajahi rute yang terdiri atas serangkaian langkan kapur yang membuat kepala pening, yang tingginya hampir 300 meter di atas dasar sungai. Di dekat penanda sungai 32 mil (sekitar 50 km), kami bisa melihat bayangan mulut gua tempat para arkeolog menemukan artefak leluhur suku Pueblo, yang menghuni lanskap ini selama lebih dari 10.000 tahun, serta bangkai kambing gunung harrington dan unta purba, hewan yang kini telah punah dan pernah hidup hingga akhir era Pleistosen, sekitar 12.000 tahun silam.
Pola harian kami seperti berikut: Setiap pagi kami mengisi perut dengan bubur gandum, kemudian berangkat menempuh perjalanan berat sejauh 19 hingga 23 km, biasanya dengan memanggul ransel mendaki tanjakan vertikal hingga 300 meter, menuruni lereng yang sangat curam, atau menembus semak berduri. Hal ini berlangsung terus hingga matahari mulai terbenam. Saat tubuh dalam keadaan babak belur, dipenuhi luka akibat tergores, dan sangat kelelahan, kami merebus air, melahap makan malam siap saji yang hanya perlu dituangi air, kemudian berbaring dan menatap langit malam sambil mendengarkan kata-kata Edward Abbey melalui audiobook yang diunduh Pete ke ponselnya.
Buku itu berjudul Desert Solitaire, penghormatan Abbey untuk “saudara” Grand Canyon, yaitu Canyonlands dan Arches. Meskipun saya biasanya begitu lelah dan hanya sanggup menyimak beberapa kalimat saja, saya sering meminta Pete memutar ulang bagian saat Abbey memperingatkan pembaca untuk tidak bergegas melompat masuk ke dalam mobil pada bulan Juni mendatang dan melaju ke Grand Canyon dengan harapan dapat menyaksikan keajaiban dunia yang berusaha dipromosikannya:
Pertama-tama, Anda tak dapat melihat apa pun dari mobil; Anda harus keluar dari mesin terkutuk itu, lalu berjalan, lebih baik lagi kalau merangkak, menggunakan tangan dan lutut, melintasi batu pasir serta menembus semak duri dan kaktus. Setelah bercak darah mulai menghiasi jalur yang Anda lewati, Anda akan melihat sesuatu, mungkin. Mungkin juga tidak.
Perubahan yang sangat mirip dengan berbagai kekuatan yang telah diperingatkan Abbey—pertumbuhan, pengembangan, dan pengejaran uang—kini sedang berlangsung di dalam Grand Canyon.Meskipun bagian itu tampaknya seolah-olah sangat tepat untuk kondisi saya pada saat itu, saya selalu memaksa diri untuk tetap terjaga agar mendengar ucapan berikutnya:
Kedua, tempat yang paling sering saya tulis di dalam buku ini mungkin sudah lenyap atau akan lenyap tidak lama lagi. Ini bukan buku panduan wisata, melainkan sebuah elegi. Sebuah peringatan. Anda bagaikan sedang memegang batu nisan.
Kata-kata itu, yang ditulis Abbey pada 1967, menghadirkan informasi mencekam karena alam liar Arches yang pernah dikaguminya kini dipenuhi begitu banyak pengunjung—1,4 juta orang pada 2015—sehingga pintu masuk ke taman harus dibuka tutup pada akhir pekan Memorial Day tahun lalu. Dan karena proyek bendungan, keajaiban Glen Canyon, yang dikatakan mampu menyaingi keindahan Grand Canyon, kini sudah berada di bawah permukaan air bendungan sepanjang 299 kilometer, yang dinamai menurut nama John Wesley Powell.
Seperti yang akan saya dan Pete temukan, perubahan yang sangat mirip dengan berbagai kekuatan yang telah diperingatkan Abbey—pertumbuhan, pengembangan, dan pengejaran uang—kini sedang berlangsung di dalam Grand Canyon.
Sekitar seratus kilometer ke arah hilir dari Lees Ferry, Sungai Colorado yang cokelat kemerahan bertemu dengan anak sungai terbesarnya di dalam ngarai, sungai Little Colorado, yang airnya sering memantulkan warna pirus cemerlang. Tempat menyatunya kedua aliran sungai itu yang dikenal sebagai Confluence, memiliki makna spiritual mendalam bagi banyak penduduk asli Amerika yang tanah leluhurnya ada di dalam ngarai, termasuk suku Havasupai, Zuni, Hopi, dan Navajo.
Pada pagi 2 November, kami muncul di sisi utara sungai, memompa rakit kecil yang kami benamkan di dasar ransel, dan mendayung ke seberang, untuk memulai pendakian 1.050 meter yang amat sulit,melalui serangkaian air terjun curam di tebing yang akhirnya mengantarkan kami ke bentang lingkar ngarai bagian timur dan perbatasan barat Reservat Navajo. Kami memilih rute ini karena posisinya sejajar dengan jalur yang akan digunakan sekelompok pengembang dari Scottsdale untuk membangun Escalade Tramway. Gondola bermuatan delapan orang akan mengantarkan wisatawan dari lingkar ngarai ke daerah di dekat tepi sungai, tempat para pengembang berencana mendirikan sebuah kompleks pertokoan, pujasera, dan amfiteater yang menghadap ke Confluence.
Jalur trem itu akan mampu mengantarkan sebanyak 10.000 orang per hari ke tempat yang sekarang jarang menjamu lebih dari beberapa puluh orang di hari musim panas pada umumnya, dan sering tidak dikunjungi siapa pun selama musim dingin. Pengembangan seperti itu di dalam ngarai belum pernah terjadi sebelumnya.
Kekuatan pendorong di balik proyek ini adalah R. Lamar Whitmer, konsultan politik yang berhasil membujuk sekelompok politisi Navajo bahwa hal itu akan mendatangkan pendapatan besar yang diperlukan suku mereka. Para penentang meliputi pakar lingkungan serta hampir setiap suku yang tinggal di wilayah itu, termasuk sekelompok anggota suku Navajo yang mengatakan bahwa Whitmer dan rekan-rekannya menipu beberapa rekan sesukunya untuk mendukung proyek tersebut dengan janji-janji menyesatkan. (Whitmer menyangkal dia telah menyesatkan siapa pun.)
Gondola bermuatan delapan orang akan mengantarkan wisatawan dari lingkar ngarai ke daerah di dekat tepi sungai, tempat para pengembang berencana mendirikan sebuah kompleks pertokoan, pujasera, dan amfiteater yang menghadap ke Confluence.Kelompok ini menyebut dirinya Save the Confluence. Ketika salah seorang anggotanya, Renae Yellowhorse, mendapat kabar bahwa saya dan Pete akan muncul dari ngarai di tempat yang menghadap ke Confluence, dia menelepon seorang teman dan memintanya untuk mengantarnya sejauh 66 kilometer dari rumahnya di tepi barat Reservat Navajo, agar ia bisa berbagi panci berisi rebusan daging kambing tradisional dan menyampaikan pandangannya kepada kami.
Menurut Yellowhorse, reservat kini dipenuhi kabar burung bahwa Whitmer dan sekutunya sedang mengumpulkan para investor untuk membiayai proyek satu miliar dolar, sekaligus menjalin kerja sama baru dengan legislator Navajo dengan harapan dapat mengakhiri taktiknya mengelabui presiden Navajo, Russell Begaye, penentang utama proyek tersebut. “Kami tidak menentang pembangunan, tetapi proyek itu tidak tepat jika dilakukan di sini,” kata Yellowhorse. “Ketika cucu saya datang, saya ingin mereka melihat tempat ini sebagaimana nenek moyang saya melihatnya. Kami tidak ingin daerah ini dikembangkan—kami tidak ingin melihat Disneyland di tepi ngarai.”
Ternyata, teman yang telah mengantar Yellowhorse menemui kami, seorang pria bernama Roger Clark, dapat menjelaskan pernyataan itu secara lebih mendalam. Sebagai direktur program Grand Canyon Trust, kelompok konservasi yang menghabiskan 30 tahun berjuang melawan berbagai ancaman terhadap ngarai, Clark sangat mencemaskan rencana pembangunan ini. Namun, dia bahkan lebih khawatir bahwa proyek ini merupakan bagian dari lingkaran ancaman yang lebih besar lagi yang akan menghadirkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas keutuhan ngarai.
Salah satu isu lain yang menjadi perhatian Clark dan banyak ahli lingkungan lainnya adalah Tusayan, sebuah kota kecil yang berjarak tiga kilometer dari pintu masuk utama taman di South Rim. Tusayan telah diambil alih oleh konsorsium investor yang ingin mengubahnya menjadi sebuah sanggraloka, dengan kemungkinan dibangunnya ribuan rumah baru dan lebih dari 10.000 meter persegi ruang komersial, termasuk hotel mewah, spa kesehatan gaya Eropa, dan peternakan untuk wisatawan.
Semua ini akan membutuhkan banyak air. Para pengembang, yang dipimpin perusahaan Italia, Stilo, mengatakan mereka sedang mempertimbangkan cara untuk mendatangkan air, termasuk dengan kereta api atau pipa yang mengambil air dari Sungai Colorado. Namun, mereka juga memiliki izin untuk membuat sumur menembus South Rim yang kering untuk mengakses akuifer yang menjadi sumber dari sekian banyak mata air dan merembes jauh ke dalam Grand Canyon. Kantung-kantung kecil tempat air menetes dari celah di bebatuan gundul ini hanya mencakup kurang dari 0,01 persen dari luas permukaan di dalam ngarai, tetapi setiap oase kecil mendukung serangkaian kehidupan flora dan fauna yang kompleks. Para ahli biologi mengatakan bahwa apa pun yang mungkin mencemari mata air ini atau membuatnya mengering akan berdampak pada lingkungan ekologis penghuni ngarai.
Clark tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi U.S. Forest Service tak lama kemudian menolak untuk meninjau permohonan yang diajukan dewan kota untuk membuat jalan yang sangat penting untuk kelanjutan proyek tersebut. Namun, pendukung Tusayan ini sudah melewati banyak rintangan dan, jika mereka menemukan cara untuk menyingkirkan rintangan terakhir ini, tidak ada lagi yang dapat menghalangi mereka.
Menurut data U.S. Geological Survey, 15 mata air dan lima sumur di dalam area Grand Canyon memiliki kadar uranium yang tinggi sehingga dianggap tidak aman untuk diminum, sebagian karena insiden di tambang tua.Namun, Tusayan bukan satu-satunya ancaman bagi akuifer di kawasan itu. Hanya 10 kilometer ke arah tenggara dari kota tersebut—juga di luar taman—perusahaan Energy Fuels berhasil membuka kembali tambang setelah pertarungan keras di pengadilan melawan kelompok lingkungan hidup dan suku Havasupai, dan tak lama lagi akan mengangkut keluar bijih uranium. Seorang pejabat perusahaan menepis kemungkinan terjadinya insiden besar. Namun, menurut data U.S. Geological Survey, 15 mata air dan lima sumur di dalam area Grand Canyon memiliki kadar uranium yang tinggi sehingga dianggap tidak aman untuk diminum, sebagian karena insiden di tambang tua.
Sementara itu, koridor sungai sepanjang 35 kilometer di dasar ujung barat ngarai telah dibuka untuk lalu lintas udara tanpa terbatas oleh suku Hualapai, yang reservatnya berbatasan dengan sisi selatan Sungai Colorado. Berkat perubahan peraturan Federal Aviation Administration yang diajukan oleh Hualapai, suku tersebut dapat mengoperasikan penerbangan helikopter yang tak terbatas jumlahnya. Penerbangan ini sarat wisatawan, banyak di antaranya berasal dari Las Vegas, dan terbang di bawah tepi ngarai sejak matahari terbit hingga terbenam. Kebisingannya sedemikian dahsyat dan tanpa henti sehingga daerah ini dikenal penduduk lokal sebagai Helicopter Alley.
Clark berkata, “Setiap ancaman ini mampu mengikis sepenggal keagungan ngarai dan secara bersamaan dapat mengikis kemampuan lanskap untuk melakukan hal yang membuatnya unik, yaitu menanamkan kerendahan hati dengan menunjukkan bahwa manusia tidaklah ada artinya jika dikaitkan dengan kekuatan yang telah membentuk planet ini, dan kita bukanlah pusat dunia.”
Ancaman yang lebih besar, menurut pendapat Clark, adalah bahwa Tusayan, Tramway, dan Helikopter Alley berpotensi mempercepat berbagai proyek pembangunan di daerah tetangga. Dia mencatat bahwa operasi helikopter suku Hualapai yang sangat sukses ini telah menumbuhkan minat di kalangan suku Navajo, yang meyakini bahwa sistem gondola berbasis kabel ini bisa menjadi pemicu ledakan wisata udara serupa di sepanjang sisi timur ngarai. Jika visi itu berhasil diwujudkan dan jika pengembangan Tusayan dilanjutkan, ujar Clark, dampaknya akan sangat besar. “Kita akan menyaksikan sebuah sanggraloka raksasa bertengger tepat di atas bagian tengah ngarai dan dihimpit oleh sepasang operasi wisata udara berskala besar, masing-masing dengan pengembangan barunya sendiri,” katanya. “Dalam sekejap, seluruh ngarai akan berubah menjadi sesuatu yang sama sekali tidak mirip dengan taman nasional dan lebih mirip taman hiburan.”
Setelah Hari Thanksgiving, saya dan Pete kembali ke tempat perjalanan kami yang terakhir dan mulai melanjutkan perjalanan ke hilir. Seratus sembilan puluh enam kilometer kemudian, kami mendaki kembali, di pintu masuk taman di South Rim. Berikutnya, perjalanan sejauh 106 kilometer yang dimulai tepat setelah Tahun Baru.
Pada akhir Januari, saat kami bersiap-siap untuk menempuh bagian perjalanan yang paling sulit—perjalanan 249 kilometer mengelilingi Great Thumb Mesa—teman kami, Rich Rudow, muncul kembali. Dia dan rekannya, Chris Atwood, telah melewati Grand Wash Cliffs pada akhir November, menjadi orang kesembilan dan kesepuluh yang pernah menyelesaikan perjalanan berkesinambungan melintasi ngarai itu. (Teman mereka, Dave Nally, terpaksa menyerah akibat masalah pernapasan.) Rudow melacak kemajuan kami melalui pesan singkat satelit yang selalu kami kirimkan dan mengkhawatirkan tantangan yang akan saya hadapi bersama Pete di Thumb di musim dingin. Inilah saat badai kerap bertiup tiba-tiba dan mencurahkan tumpukan salju setebal beberapa sentimeter.
Rudow memutuskan bahwa dia harus kembali untuk mengantarkan kami melalui daerah itu. Itulah sebabnya, pada sore hari 1 Februari, kami semua berdiri di atas salju hampir setebal 30 sentimeter di tepi Owl Eyes, merenungkan cara untuk melaluinya.
“Maaf,” ujarnya perlahan. “Berdiri di sini rasanya sangat emosional.” Kemudian, dia menceritakan kisah tentang apa yang terjadi pada seorang wanita muda yang kenangannya terpatri di tempat itu.Di ujung teluk berbentuk tapal kuda tampak sebuah langkan besar. Jika berhasil mencapai sepenggal tanah datar itu, keadaan kami akan baik-baik saja. Namun, upaya mencapai tempat itu mengharuskan kami melintasi lereng curam bertaburkan serpihan batu dan, berdoa bahwa jika tergelincir, kami mampu berhenti meluncur sebelum melesat terbang dari tebing setinggi 122 meter itu. Saat itu waktu sudah sore dan, jika gagal mencapai daerah yang aman sebelum gelap, kami menghadapi bayangan menyeramkan untuk bermalam di lereng Owl Eyes yang sangat licin.
Setelah lebih dari dua jam berlalu, kami hanya mampu mencapai bagian tengah tapal kuda, tempat tanjung kecil menyeruak keluar dari lereng. Panjangnya tidak lebih dari 20 meter, tetapi ada ruang datar di atasnya dan di ujungnya terdapat tumpukan kecil bebatuan. Ketika kami tiba di bebatuan itu, Rudow berhenti dan menunduk sejenak. Kemudian melepas kacamata dan mengusap matanya.
“Maaf,” ujarnya perlahan. “Berdiri di sini rasanya sangat emosional.” Kemudian, dia menceritakan kisah tentang apa yang terjadi pada seorang wanita muda yang kenangannya terpatri di tempat itu.
Namanya Ioana Elise Hociota. Dia berasal dari Rumania, dapat berbicara empat bahasa serta memiliki gelar dalam matematika dan biologi. Usianya 24, baru menikah, bersama suaminya, Andrew Holycross, nyaris menyelesaikan sepenggal perjalanan “per bagian” di ngarai.
Pada musim dingin 2012, Hociota bertekad mencapai langkan sepanjang 32 km di dekat Great Thumb Mesa. Ketika Holycross menyadari bahwa jadwal kerjanya tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan perjalanan itu, Hociota pergi bersama Matthias Kawski, profesor matematika dan mentor akademisnya.
Mereka berada di tengah-tengah Owl Eyes ketika berhenti untuk makan siang. Kemudian, Kawski mengambil jalan menanjak untuk mendekati serpihan batu itu. Hociota memilih jalur lebih langsung yang menyebabkannya menghilang dari pandangan Kawski. Satu atau dua menit kemudian, Kawski mendengar suara batu jatuh, diikuti jeritan melengking, dan beberapa detik kemudian terdengar hantaman keras. Sambil bergegas ke tepi tebing, dia mengintip ke bawah, berusaha mencari Hociota. Dia berteriak memanggil namanya berulang kali. Tidak ada jawaban.
Keesokan harinya tubuh Hociota ditemukan. Polisi hutan yang bergantung pada sebuah helikopter diturunkan untuk mengambil jasadnya. Ketika Rudow selesai bercerita, dia menatap ke arah barat. Matahari beringsut perlahan ke bibir ngarai. “Teman-teman,” katanya, “Kita bermalam di sini.”
Malam itu semua botol air kami membeku, meskipun kami meletakkannya di dalam dua tenda yang kami dirikan di atas sepenggal kecil tanah datar di samping tugu peringatan untuk Hociota. Sepatu kami juga membeku dan keesokan paginya, kami harus memeganginya di atas kompor kemah untuk mencairkannya.
Sungguh tempat yang memilukan sekaligus berbahaya, dan saya senang dapat melewatinya. Namun, saya juga memerhatikan betapa indahnya tempat tersebut.Kami pun membongkar kemah dan berjalan dengan susah payah menyusuri jalanan di lereng yang berselimutkan salju, ke langkan datar di sisi jauh Owl Eyes. Setelah itu kami mengeringkan perlengkapan di bawah sinar matahari dan menatap daerah yang baru saja kami seberangi.
Sungguh tempat yang memilukan sekaligus berbahaya, dan saya senang dapat melewatinya. Namun, saya juga memerhatikan betapa indahnya tempat tersebut. Di bawah sinar matahari pagi, bahkan wajah tebing bawah tempat jatuhnya Hociota dilapisi kilauan berwarna kuning madu yang tampaknya bersinar dari dalam. Pada saat itu, saya mungkin dapat melihat sekilas apa yang dimaksudkan Edward Abbey ketika menulis tentang betapa seseorang perlu merangkak untuk bisa melintasi daerah ini dan berdarah-darah sebelum akhirnya melihat sesuatu.
Apa yang saya lihat—atau, lebih tepatnya, apa yang saya pahami—adalah: dari sekian banyak hal yang menarik seorang genius matematika dari Rumania ke lanskap ini adalah bahwa ngarai ini bukanlah taman hiburan. Taman nasional ini tidak memiliki pegangan tangan, tempat dengan bahaya nyata di mana-mana. Namun, hadiahnya pun sangat nyata—di antaranya adalah fakta ketika melintasi alam liar kuno yang belum diusik, kita diingatkan tentang posisi manusia di tengah semua ini dan kerapuhan hidup. Rupanya Ioana Hociota paham bahwa dia membutuhkan tempat seperti itu. Dan saya menduga kita semua pun mungkin memerlukannya.
Empat hari kemudian, kami berhasil mendaki keluar. Setelah mengisi ulang pasokan di Flagstaff, saya dan Pete melanjutkan kembali perjalanan dengan serangkaian perjalanan yang, pada pertengahan Maret, membawa kami ke jarak sekitar 80 kilometer dari akhir perjalanan. Namun, ngarai itu belum selesai menguji kami. Pada suatu pagi, termometer di arloji Pete menunjukkan suhu 44 derajat Celcius, lebih panas daripada suhu yang memicu hiponatremianya enam bulan sebelumnya. Tiga puluh menit kemudian, kami mulai mendaki keluar.
Ketika memulai misi ini, kami tidak mungkin tahu bahwa bahkan setelah menjelajahi ngarai melalui sembilan kali perjalanan selama periode satu tahun, ujungnya masih belum juga dapat kami capai. Jika Anda membaca artikel ini pada September 2016, kemungkinan besar kami sudah kembali ke jalur itu, mencoba untuk menyelesaikan perjalanan kami. Jika Anda membaca cerita ini sekian puluh tahun dari sekarang, katakanlah pada 2066, mudah-mudahan alam liar Grand Canyon yang luas itu masih ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar